Golden Hour

by

Lala J. Thorpe

            Jam digital di meja kamar hotel sudah menunjukkan pukul 15.00. Cahaya matahari sore merebak masuk melalui tirai transparan dari ufuk barat. Rin menggeliat malas terbangun dari tidur siangnya selama dua jam setengah itu. Kelelahan menimpanya setelah semalam berjalan-jalan jauh mengelilingi distrik-distrik Tokyo yang tak pernah tidur. Besok adalah live the GazettE di Yokohama Arena dan Rin sengaja menginap di hotel terdekat agar tak perlu berangkat terburu-buru. Dia juga memegang tiket backstage pass yang ia menangkan dari gacha dan ini adalah kali kedua Rin akan berjabat tangan dengan para member, tetapi gadis itu paling menantikan interaksinya dengan Uruha.

            Tiga puluh menit kemudian setelah sedikit berdandan, Rin turun ke resto lobby untuk makan siang. Terdapat mentaiko pasta di daftar menu dan dia memutuskan pesan satu porsi. Rin ingat dalam satu interview beberapa tahun lalu Uruha berkata bahwa dia suka memasak mentaiko pasta yang membuat Rin penasaran seperti apa rasanya. Rin mencari tempat duduk dengan santai ketika matanya menangkap lima orang laki-laki berpakaian didominasi hitam duduk dalam satu meja. Sekujur tubuhnya membeku seketika sementara hanya ada satu meja kosong yaitu tepat di sebelah meja itu. Telapak tangannya juga mulai basah karena menahan degup jantung yang tak keruan sampai dia takut akan pingsan di tempat.

            Yap. Kelima lelaki tersebut adalah the GazettE dengan wajah tanpa riasan. Seingat Rin, dia hanya sekali melihat mereka tanpa make up yaitu dari foto yang ia temukan di platform Pinterest, tapi tak sekalipun gadis itu bermimpi melihat Ruki dan kawan-kawan  di depan mata kepala langsung. Rin mengambil tempat duduk di mana dia berhadapan langsung dengan Uruha yang sedikit terhalang punggung Kai. Matanya sipit khas orang Jepang terbingkai kacamata hitam dengan sedikit kerutan karena telah menginjak akhir 30an. Tapi semua itu malah membuatnya semakin menarik di mata Rin. Uruha terlihat seperti seseorang yang bisa digapai. Berisik ya, batin Rin yang terpaksa menguping obrolan santai kelimat lelaki itu. Tawa renyah Kai dan Reita, cekikikan lembut Uruha dan Aoi, serta celetukan Ruki menambah hidup suasana di meja itu. Sampai-sampai Rin tidak sadar kalau reita membuka maskernya yang menutup hidungnya sesekali.

            Makanan Rin datang dan aroma pasta menyeruak dengan uap panas dari hot plate. Rin makan sepelan mungkin agar bisa mendengar obrolan mereka lebih lama. Tepat di suapan kelima, matanya tak sengaja menangkap tatapan Uruha langsung ke arahnya. Sekali, dua kali, tiga kali. Jika kali kedua adalah kebetulan, maka kali ketiga adalah kesengajaan. Uruha dan Rin saling tatap selama dua detik namun pemuda itu menyunggingkan senyum setipis tissue tepat saat mata mereka beradu pandang. Sampai-sampai Rin hampir menjatuhkan garpunya. Ah, mungkin gara-gara mencium aroma mentaiko pasta, kata Rin dalam hati karena ia tak ingin berekspektasi terlalu tinggi.

            Selesai menghabiskan pastanya, Rin menuju area dessert dan mengambil dua potong kecil blueberry cheesecake dan sebuah crème brule. Saat mengisi ulang air putih, Rin mendengar seseorang bergumam di belakangnya. Sialnya dia sangat tahu suara siapa itu.

            “Hmm…ambil dessert yang mana, ya?” Sekujur tubuh Rin mematung.

            “Nona, bisa tolong bantu saya memilih dessert? Saya jarang sekali makan yang manis-manis jadi bingung memilihnya.”

            Rin berbalik badan perlahan. “Ano…anda berbicara dengan saya?”

            Uruha mengangguk. “Boleh kah?”

            Tentu saja boleh! Teriak Rin dalam hari. “Uhm…anda suka cake atau puff pastry? Di counter paling ujung ada croissant dan sebagainya. Saya rasa tidak terlalu manis. Di sebelahnya ada berbagai macam cake, ada cheesecake yang menurut saya manisnya juga pas. Tidak seperti choco atau red velvet.”

            Mereka berdua bercakap hingga tidak sadar Uruha belum mengambil satu dessert pun. Rin sendiri juga melupakan degup jantungnya yang bagaikan genderang perang itu. Menjadi social butterfly tentu sangat menguntungkan di situasi seperti ini.

            “Hmm…semuanya enak kelihatannya,” kata Uruha. “Saya coba cheesecake saja.”

            Sekarang atau tidak sama sekali! Teriak Rin dalam hati sekali lagi.

            “A-ano…U-Uruha-san desuka ne? Saya tidak tahu ini lancang atau tidak tapi…bolehkah saya meminta foto berdua? Mumpung teman-teman anda tidak bersama anda,” tanya Rin dengan suara sangat pelan di samping Uruha sementara indera penciumannya sedang diserang oleh aroma parfum Bvlgari Extreme.

            Uruha menggaruk dagunya yang berjenggot tipis. “Saya rasa kurang tepat kalau harus meminta foto di sini.”

            Senyum Rin luntur seketika mendengar jawaban Uruha. Tentu saja itu melanggar privasinya. “Oh, baiklah. Saya mohon maaf sudah lancang,” ujar Rin menunduk. “Terima kasih sudah mau mengobrol dengan saya,” kata Rin memaksa senyum sekali lagi dan berbalik badan.

            “Tunggu saya di halaman lobby setelah 15 menit.”

            “Eh?” Langkah Rin terhenti. Dia berbalik badan.

            “Cahaya matahari sedang bagus. Ini adalah golden hour. Kita bisa berfoto di sana.”

            “S-sungguh??” Rin mengerjap. Uruha mengangguk dan berjalan meninggalkan Rin yang berdiri mematung.

            Alih-alih menikmati blueberry cheesecake kesukaannya, Rin menahan perutnya yang mulas karena ajakan Uruha. Tak sekalipun dalam impian terliar Rin, ia akan berfoto dengan Uruha yang tanpa make up. Bahkan dia tak sempat memikirkan rambutnya yang hanya diikat kuncir kuda tanpa style.

            Lima belas menit kemudian Rin beranjak dar mejanya. Diliriknya Uruha sepersekian detik di mana sang gitaris masih asyik bercengkrama dengan kawan-kawannya.

            Rin duduk di salah satu bangku yang menghadap matahari. Waktu menunjukkan pukul 16.30 dan cahaya matahari yang jatuh ke kulit membuatnya menjadi kuning keemasan. Rin tidak ingin terlalu berharap. Jika dalam 15 menit Uruha tidak datang, dia akan kembali ke kamar. Mengobrol dengan Uruha seperti tadi sudah membuatnya sangat bahagia.

            “Terima kasih sudah menunggu,” sapa Uruha. “Maaf penampilan ala kadarnya ya.”

            “Tidak apa-apa. Saya sudah sangat senang Uruha-san mau berfoto dengan saya.”

            “Baik, ayo kita mulai!”

            Mereka berdua menghadap matahari dengan senyum yang begitu lebar. Uruha berdiri di belakang Rin dan memegang bahunya lembut. Rin mengambil dua kali jepretan menggunakan kamera iPhone-nya dan dia sudah cukup puas dengan hasilnya.

            “Sudah cukup kah?” tanya Uruha.

            “Iya. Saya akan menyimpannya untuk koleksi pribadi. Terima ka—”

            “Oke sekarang pakai kamera saya.” Uruha berpindah ke depan dan merangkul Rin sambil mengambil foto menggunakan iPhone-nya sendiri. Dia tidak peduli dengan senyum tanggung Rin yang terperanjat karena aksi Uruha yang tiba-tiba.

            “Besok datang ke live kan?” tanya Uruha sambil memasukkan iPhone-nya ke dalam saku hoodie.

            “Huh? Eh…i-iya. Saya juga ada backstage pass,” jawab Rin terbata-bata.

            “Uruha mengangguk. “Itsumo arigatou. Ashita mou ganbarimashou!”

***

Published by lalathorpe39

Bachelor of linguistics who is awarded with Cum Laude predicate from writing a thesis based on her silly obsession over footballers. See? Being a fangirl could be so beneficial in college! XD

Leave a comment